N I K A H
(Makalah)
DI SUSUN
O
L
E
H
KELOMPOK : 1 (SATU)
KETUA
ANGGOTA
|
:
:
|
RUDIYANSYAH
1.
KORNELIS ADIBRATA
2.
ANDY DARMAWANSYAH
3.
ELVA OCTALIA
|
MATA KULIAH : AIK. IV (EMPAT)
DOSEN PENGASUH : Drs. MUALIMIN
STKIP MUHAMMADIYAH
PAGARALAM
TAHUN AKADEMIK 2013/2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
belakang
Nikah
adalah salah satu sendi pokok pergaulan bermasyarakat. Oleh karena itu, agama
memerintahkan kepada umatnya untuk melangsungkan pernikahan bagi yang sudah
mampu, sehingga malapetaka yang diakibatkan oleh perbuatan terlarang dapat di
hindari. Alloh berfirman:
Artinya
: “
nikahlah
wanita-wanita yang kamu senangi : dua, tiga atau empat, kemudian jika kamu
tidak akan dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja”.(QS.An-Nisa’ :3)
1.2. Rumusan
masalah
Pembahasan
tentang pernikahan ini sangatlah luas, tapi dalam makalah ini, penulis hanya
menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
1. Apakah
pengertian nikah ?
2. Bagaimana
hokum pernikahan?
3. Apa
saja rukun dan syarat nikah?
1.3. Tujuan
pembahasan
Dalam
makalah yang berjudul “nikah” ini, penulis bertujuan untuk menjelaskan
pengertian nikah, hukum pernikahan, rukun dan syarat pernikahan serta hikmah
pernikahan.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
nikah
Nikah
menurut bahasa mempunyai arti mengumpulkan, menggabungkan, menjodohkan atau
bersenggama (wath’i). dalam istilah bahasa Indonesia sering disebut dengan
“kawin”. Dalam pasal I Bab I, UU perkawinan NO 1 tahun 1974, perkawina
didefinikan sebagai berikut: ” ikatan lahir batin antara seorang pria dan
wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pernikahan
adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-lkai dalam suatu rumah tangga
berdasarkan kepada tuntunan agama. Ada juga yang mengartikan “ suatu perjanjian
atau aqad (ijab dan qabul) antara laki-laki perempuan untuk menghafalkan
hubungan badaniyah sebagaimana suami istri yang sah yang mengandung
syarat-syrat dan rukun-rukun yang ditentukan oleh syariat islam”.
2.2. Hukum
pernikahan
Adapun
hukum menikah, jumhur ulama’ menetapkan ada 5, yaitu:
1. Sunnah
Jumhur
ulama sepakat sepakat bahwa hokum asal pernikahan adalah sunnah. Mereka
beralasan antara lain kepada firman Alloh swt.
Artinya:
‘ Nikahilah orang-orang yang menyendiri diantara kamu dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. Jika mereka miskin, mereka dijadikan kaya oleh alloh dengan
karunuanya. Alloh maha luas karunianya dan maha mengetahui”.(QS. An-Nur:32)
2. Mubah
(boleh)
Ukum
menikah menjdi boleh bagi orang yang tidak mempunyai factor pendorong atau
factor yang melarang untuk menikah.
3. Wajib
Hukum
nikah menjadi wajib bagi orang yang ecra jasmaniyah sudah layak untuk menikah,
secara rohaniyah sudah dewasa dan matang serta memiliki kemampuan biaya untuk
menikah dan menghidupi keluarganya. Bila ia tida menikah, khawatir jatuh pada
perbuatan mesum.
4. Makruh
Hukum
menikah menjadi makruh bagi laki-laki yang secara jasmniyah sudah layak untuk
menikah, kedewasaan rohaniyah sudah matang tetapi tidk mempunyai biaya untuk
menikah dan bekal hidup rumah tangga. Orang semacam ini dianjurkan untuk tidak
dulu menikah dan mengendalikan hawa nafsuya dengan berpuasa.
5. Haram
Hukum
menikah menjadi haram bagi laki-laki yang menikahi wanita dengan maksud
menyakiti dan mempermainkaya. Pernikahan seperti ini sah menurut syariat jika
terpenuhi syarat dan rukunnya. Akan tetapi pernikahn seperti ini berdosa di
hadapan Alloh karena tujuanya buruk.
2.3. Rukun
dan syarat nikah.
Rukun
nikah yaitu apa yang merupakan hakekat dari perkawinan yang tampa adanya rukun
tidak sahlah perkawinan. Rukun nikah antara lain:
a. Calon
suami, dengan syarat :
Muslim,
merdeka, berakal, benar-benar laki-laki, adil, tidak beristri empat, tidak
mempunyai mahram dengan calon dan tidak sedang ihram haji atau umroh.
b. Calon
istri, dengan syarat-syarat sebagai berikut:
Muslimah
(benar-benar perempuan), telah mendapat izin dari walinya, tidak bersuami atau
tidak dalam masa iddah, tidak mempunyai hubungan mahram dengan calon suaminya
dan tidak sedang berihram haji atau umroh.
c. Sighat
(ijab dan qabul).
Ijab
yaitu suatu suatu pernyataan berupa penyerahan diri seorang wali perempuan atau
wakilnya kepada seorang laki-laki dengan kata-kata tertentu maupun syarat dan
rukun yang telah ditentukan oleh syara’.
d. Qabul
yaitu suatu pernyataan penerimaan oleh pihak laki-laki terhadap pernyataan wali
perempuan atau wakilnya sebagaimana yang di sebut di atas.
Menurut
syafi’I (dan hambali) ijab qabul harus dilakukan dengan menggunakan lafal yang
terdapat dalam Al-qur’an yaitu kawin dan jodoh. Dasarnya ialah hadits nabi yang
menyebutkan:
“takutlah
kamu kepada Alloh dalam perkara wanita, sebab kamu telah mengambil mereka dari
keluarganya dengan amanat dari Alloh dan kamu telah menghalalkan percampuran
kelamin dengan mereka dengan kalimat alloh”.(Riwayat Muslim).
Ijab
dan qabul dilaksanakan dengan syarat sebagai berikut:
ü Lafadz
ijab dab qabul harus lafadz nikah atau tazwij.
ü Lafadz
ijab dan qabul bukan kata-kata kinayah (kiyasan).
ü Lafadz
ijab dan qabul tidak di ta’likkan (dikaitkan) dengan suatu syarat tertentu.
ü Lafadz
ijab dan qabul harus terjadi pada satu majlis, maksudnya lafadz qabul harus
segera di ucapkan setelah ijab.
Wali
perempuan, dengan syarat sebagai berikut:
Muslim,
berakal, tidak fasiq, laki-laki dan mempunyai hak untuk menjadi wali. Tidak
akan sah nikah jika tidak ada wali, hadits nabi menyebutkan.
“janganlah
perempuan mengawinkan perempuan yang lain dan janganlah pula perempuan
mengawinkan dirinya sendiri, karena perempuan yang berzina ialah yang mengawinkan
dirinya sendiri. ( Riwayat ibn majah dan Daruqquthni ).
Yang
berhak menjadi wali bukan sembarang orang, menurut Syafi’I, orang-orang yang
berhak menjadi wali yaitu:
a. Bapak,
kakek (bapak dari bapak), dan seterusnya ke atas.
b. Saudara
laki-laki seibu sebapak.
c. Saudara
laki-laki sebapak.
d. Anak
laki-laki saudara seibu-sebapak.
e. Anak
laki-laki dari saudara laki-laki sebapak dan seterusnya kebawah.
f.
Saudara laki-laki seibu sebapak dari
bapak (=paman kandung).
g. Saudara
laki-laki sebapak dari bapak (=paman sebapak).
h. Anak
laki-laki paman kandung.
i.
Anak laki-laki paman sebapak dan
seterusnya kebawah.
j.
Hakim (wali hakim), yaitu jika tidak
ada wali-wali tersebut di atas, atau wali yang berhak ada tapi tidak mau jadi
wali.
Dua
orang saksi, dengan syarat sebagai berikut:
Muslim,
baligh, berakal, merdeka, laki-laki, adil, pendengaran dan penglihatannya
sempurna, memahami bahasa yang di ucapkan dalam ijab dan qabul, tidak sedang
mengerjakan ihram haji atau umroh. Akad nikah harus dihadiri oleh dua orang
saksi, tampa adanya dua orang saksi ini perkawinan tidak akan sah. Dalilnya
ialah Hadist SAW yang menyebutkan : “Tidak ada atau tidak sah nikah melainkan
dengan wali dan dua orang saksi yang adil”.
2.4. Hikmah
pernikahan
Di
antara hikmah pernikahan tersebut sebagaimana di uraikan dibawah ini:
1. Hikmah
pernikahan bagi individu dan keluarga.
a. Terwujudnya
kehidupan yang tenang dan tentram, karena terjalinnya cinta dan kasih saying di
antara sesama.
b. Terhindar
dari perbuatan maksiat, terutama masturbasi, perzinahan dan pemerkosaan.
c. Menciptakan
keturunan yang baik dan mulia sekaligus merupakan upaya menjaga kelangsungan
hidup manusia sesuai dengan ajaran agama.
d. Naluri
kebapaan dan keibuan akan tumbuh dan berkembang.
e. Bersungguh-sungguh
dalam mencari rizqi.
f.
Memperluas persaudaraan.
g. Mendatangkan
keberkahan.
2. Hikmah
pernikahan bagi masyarakat.
a. Terjaminnya
ketenangan dan ketentraman anggota masyarakat.
b. Dapat
meringankan beban masyarakat.
c. Dapat
memperkokoh tali persaudaraan.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Nikah
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan
yang maha esa.
Hukum
nikah ada lima yaitu sunnah (hokum asal dari pernikahan), mubah, wajib, makruh
dan haram.
Rukun
nikah adalah calon suami, calon istri, ijab qabul, wali perempuan dan dua orang
saksi.
Hikmah
pernikahan:
1. Hikmah
bagi individu dan keluarga :
a. Terwujudnya
kehidupan yang tenang dan tentram
b. Terhindar
dari perbuatan maksiat, terutama masturbasi, perzinahan dan pemerkosaan.
c. Menciptakan
keturunan yang baik dan mulia.
d. Naluri
kebapaan dan keibuan akan tumbuh dan berkembang.
e. Bersungguh-sungguh
dalam mencari rizqi.
f.
Memperluas persaudaraan.
g. Mendatangkan
keberkahan.
2. Hikmah
pernikahan bagi masyarakat :
a. Terjaminnya
ketenangan dan ketentraman anggota masyarakat.
b. Dapat
meringankan beban masyarakat.
c. Dapat
memperkokoh tali persaudaraan.
3.2. saran
Semoga
makalah ini berguna dan vermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada
umumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Suparta dan Djedjen
Zainuddin. 2005. Fiqih. Semarang : PT. Karya Toha Putra. Tim Dosen Agama Islam.
1995. Pendidikan Agama Islam. Malang : IKIP Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar